Belajar Kritis dengan Analisis: Menghitung Kerugian Ekonomi dari Kerusakan Lingkungan

Ditulis Oleh: Wahyu Agung Permana, Direktur Eksekutif Puslik.

Dalam dua minggu terakhir ini, kita setiap hari membaca dan mendengar angka Rp271 triliun di mana-mana, sebagai nilai kerugian yang diderita negara akibat kasus PT Timah yang melibatkan banyak pihak.

Angka tersebut, dihitung oleh pakar IPB Bambang Hero Saharjo berdasarkan kerusakan lingkungan akibat penambangan timah. Hal ini dikutip dari publikasi Warta Ekonomi 29 Februari 2024, di mana Bambang mengatakan pihaknya melakukan penghitungan kerugian ekologi yang ditimbulkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

Bambang dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin, mengatakan nilai kerugian Rp271,06 triliun itu merupakan penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan dan luar kawasan hutan.

"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan non kawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271.069.688.018.700”.

Pakar forensik kehutanan itu menjelaskan dalam penghitungan kerugian ekologi atau lingkungan itu, pihaknya melakukan verifikasi di lapangan serta pengamatan dengan citra satelit dari tahun 2015 sampai 2022.

Di sisi lain, pada publikasi Warta Ekonomi tersebut juga ada pendapat dari Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ), Andri Gunawan Wibisana yang mengatakan, penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima di komunitas ilmiah atau tidak.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik valuasi lingkungan dan itu ada pakarnya,” ujarnya.

Andri menyebut, untuk menilai kasus tata niaga timah harus melihat detail kasusnya. Secara normatif, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan anggaran publik dan dampak negatif terhadap perekonomian negara seperti yang terjadi pada kasus sawit Duta Palma Group.

Kerugian negara yang berkaitan dengan anggaran publik relatif lebih mudah untuk dihitung, akan tetapi untuk dampak negatif perekonomian perlu dihitung berdasarkan pendekatan analisa manfaat-biaya atau benefit-cost analysis (BCA). Di dalam Analisa tersebut, fokus tidak hanya melihat manfaat dan biaya dari pemilik modal, akan tetapi juga mempertimbangkan manfaat dan biaya dari masyarakat luas, ditinjau dari aspek Kesehatan dan lingkungan hidupnya.

Salah satu referensi untuk memahami peran analisa manfaat-biaya dalam konteks litigasi adalah film Julia Roberts yang berjudul Erin Brockovich, di mana jaksa dan pengacara membandingkan manfaat dari keberadaan sebuah korporasi dan biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya di dalam ruang sidang.

Dalam membandingkan manfaat dan biaya, BCA menggunakan satuan moneter atau Rupiah vs. Rupiah. Menerjemahkan manfaat dan biaya ke dalam satuan moneter tidak akan jadi masalah ketika barang/jasa yang sedang dibahas memiliki pasar. Sebagai ilustrasi, akibat kegiatan pertambangan timah, sumber air bersih masyarakat sekitar menjadi tercemar. Maka kerugian yang ditanggung masyarakat adalah harga air bersih per liter dikalikan dengan konsumsi air bersih masyarakat terdampak selama 50 tahun ke depan. Masalah akan muncul ketika yang hilang dari kegiatan penambangan timah tersebut adalah keanekaragaman hayati. Tidak ada pasar yang memperjual-belikan keanekaragaman hayati. Di sinilah peran penting dari Metode Valuasi Lingkungan. Ada beberapa Teknik valuasi lingkungan yang biasa digunakan, akan tetapi metode valuasi kontingen atau Contingent Valuation Method (CVM) adalah teknik yang paling umum digunakan untuk memberikan nilai moneter bagi lingkungan hidup.

Apakah Contingent Valuation Method (CVM)?

CVM adalah salah satu teknik valuasi lingkungan yang ada di dalam Ilmu Ekonomi untuk memberikan nilai moneter terhadap lingkungan hidup berbasiskan survei kepada masyarakat. Nilai moneter dari lingkungan hidup didapatkan dari hasil survei terhadap kerelaan membayar (willingness to pay/WTP) masyarakat  terhadap penjagaan kualitas lingkungan hidup atau perbaikan kualitasnya. Dari perspektif Ilmu ekonomi, nilai lingkungan hidup yang berbasiskan WTP masyarakat pada dasarnya serupa dengan harga dari barang dan jasa yang diperjual-belikan di pasar.

Secara umum, tahapan CVM adalah sebagai berikut:

  • Melakukan identifikasi terhadap pihak-pihak (stakeholders) yang terdampak aktivitas dan apa saja  kegiatan yang dilakukan dalam aktivitas tersebut, terutama yang berdampak terhadap lingkungan.
  • Membuat kerangka konsep untuk ditanyakan kepada pihak-pihak yang terdampak tersebut terutama memberikan gambaran ideal dari aktivitas yang seharusnya terjadi.
  • Dan terakhir melakukan survei, dan pengolahan data survei akan menghasilkan WTP, dan kemudian hasil perkalian antara hasil WTP dengan jumlah masyarakat akan menghasilkan nilai ekonomi dari barang/jasa lingkungan yang sedang didiskusikan.

Nilai lingkungan berdasarkan WTP masyarakat memiliki tiga manfaat utama, yaitu:

1. Meningkatkan Akurasi dan Ketepatan Penghitungan:

Masyarakat memiliki pengetahuan lokal terkait peran penting lingkungan hidup mereka terhadap tingkat kesejahteraan, termasuk spesies flora dan fauna yang ada, kegunaan barang dan jasa lingkungan, dan dampak negatif dari kerusakan lingkungan. Keterlibatan mereka dalam proses penghitungan dapat membantu para ahli untuk:

  • Mengidentifikasi dan menilai dampak kerusakan yang mungkin terlewatkan: Masyarakat dapat memberikan informasi tentang dampak yang tidak mudah diukur secara ilmiah, seperti dampak sosial dan budaya.
  • Verifikasi data dan informasi: Masyarakat dapat membantu memastikan bahwa data yang digunakan dalam penghitungan akurat dan terkini.

2. Meningkatkan Rasa Tanggung Jawab dan Kepemilikan:

Ketika masyarakat terlibat dalam penghitungan, mereka menjadi lebih sadar akan nilai lingkungan dan dampak kerusakannya. Hal ini dapat meningkatkan rasa tanggung jawab mereka untuk melindungi lingkungan dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

3. Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas:

Keterlibatan masyarakat dalam penghitungan membantu memastikan bahwa prosesnya transparan dan akuntabel, sehingga masyarakat dapat:

  • Memberikan masukan dan saran tentang metodologi yang digunakan: Hal ini membantu memastikan bahwa penghitungan dilakukan secara adil dan objektif.
  • Memantau proses dan hasil penghitungan: Hal ini membantu memastikan bahwa hasil penghitungan digunakan secara bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat.

Kembali ke kasus PT Timah, penghitungan kerugian berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan oada dasarnya hanya memperhitungkan kerugian yang ditimbulkan dari hilangnya barang dan jasa lingkungan hidup yang memiliki harga pasar. Jika penghitungan tersebut juga memperhatikan barang dan jasa yang tidak diperjual-belikan di pasar, seperti keanekaragaman hayati, maka nilai kerugian dari kasus PT Timah akan lebih besar dari Rp271 triliun, karena dalam penghitungan tersebut melibatkan hajat hidup orang banyak. Metode CVM adalah salah satu metode yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hasil penghitungan nilai kerugian kasus PT Timah.

Penutup

Pasal 33 UUD 1945 Ayat 3 menyatakan: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan besar-besarnya untuk kemakmuran rakyat", maka sudah selayaknya negara menjaga kualitas bumi, air, dan kekayaan alam demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, bukan hanya dieksploitasi dan dinikmati oleh segelintir orang.

Terlepas ada atau tidaknya unsur politis dalam penegakkan hukum kasus korupsi di sektor pertambangan timah, masyarakat wajib mengapresiasi langkah Kejaksaan Agung untuk mulai melakukan perhitungan kerugian tidak hanya dari nilai material as it is tangible. Namun juga mulai menilainya dari aspek non tangible yang nilainya jauh lebih fantastis dibandingkan yang tangible.

Kerusakan lingkungan berupa pencemaran tanah, air dan udara serta potensi hilangnya kesejahteraan rakyat Indonesia di masa yang akan datang dari akibat praktek korupsi di sektor pertambangan, wajib untuk dimasukan dalam perhitungan kerugian. Tujuannya bukan hanya sebagai alasan pemberat dalam menentukan besarnya hukuman kepada mereka yang terbukti melakukan kejahatan korupsi di sektor pertambangan, namun juga sebagai efek jera bagi mereka yang berniat melakukan kejahatan korupsi pertambangan di masa yang akan datang.

Kekayaan alam Indonesia bukanlah warisan nenek moyang bagi sekelompok orang di suatu generasi tertentu, namun dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia, termasuk anak cucu kita di masa yang akan datang.

Masyarakat Indonesia menunggu gebrakan Kejaksaan Agung dan juga Aparat Penegak Hukum lainnya untuk bertindak tegas dan tanpa pandang bulu terhadap dugaan praktek kejahatan lingkungan dan korupsi di sektor pertambangan lainnya seperti nikel, pasir laut, emas, dll.

Bravo Kejaksaan !!!

Sumber kutipan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *